Di
muka bumi ini tidak satu pun yang menimpah orang orang tak berdosa
separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah
lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak di
paksa membeli dan membaca buku-buku karangan sipir atau kepala
penjara.Dalam komentarnya Bernard Show pada Parenst and Childernd.
Sekolah
memang penjara yang paling memberatkan pikiran, tenaga fisik dari pada
penjara biasa. Penjara dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah tempat
mengurung orang hukuman. Orang yang bersalah dimasukan ke dalam
kurungan. Sedangkan sekolah orang yang tidak bersalah pun dipenjarakan.
Anak yang ingin belajar di sekolah, malah pihak sekolah memenjarakan
anak tersebut. Belajar di luar sekolah lebih baik dari pada belajar di
sekolah, namun guru dan orang tua memaksa anaknya belajar di sekolah.
Belajar merupakan suatu hal yang sifatnya berusaha (mencari,
mendapatkan, berlatih untuk mencoba) suapaya mendapatkan sesuatu
kepandaian. Dengan memperoleh kepandaian, mampu merubah dirinya dari
segala bentuk kebodohan. Belajar untuk tau dari tidak tau. Belajar untuk
memahami dirinya, merubah drinya menjadi manusia yang seutuhnya.
Memahami dan Menemukan dirinya sebagai Manusia yang seutuhnya, maka
manusia tersebut memanusiakan manusia lain, bukan memenjarakan manusia
lain. Lain halnya dengan sekolah di papua, sekolah hadir di papua untuk
memenjakan manusia Papua.
Masuknya
pendidikan (sekolah ) di papua, terutama sekolah formal membawa sebuah
harapan yang ketidakpastian. Sekolah hadir di papua untuk hanya
memberantaskan buta huruf. Sekolah hanya mengejar nilai uang, berapa
yang sekolah dapat, jenis uang apa yang akan dapat, setiap tahun uang
biaya operasional sekolah (BOS) semakin meningkat, sehingga berapa yang
dapat uang dalam setiap tahun. Setiap tahun berapa sekolah yang
dibangun? Seorang guru mendata siswa dengan data palsu 100 anak kampong.
Guru tersebut membuat permohonan kepada dinas terkait untuk membangun
gedung yang sangat megah. Pada hal kampong tersebut tidak mencapai 100
orang. Membuat data fiktif untuk membangun gedung. Biaya operasional
naik, menambah gedung, tanpa dilengkapi dengan fasilitas. Menabah
sekolah Internasional. Membuka sayap ke pelosok nusantara demi mengejar
citra bangsa Indonesia di mata dunia. Mengejar target tanpa esensi dari
pendidikan merupakan pekerjaan yang sia-sia. Bangsa ini tambah melarat.
Sekolah
mewajibkan membeli buku, sekolah mewajibkan membeli modul mata
pelajaran. Modul tersebut berkisar 20 sampai 30 halaman, namun dibayar
70 000 sampai 100 000. Logisnya jika Anda fotokopi satu lembar kertas
seharga 100 rupiah, maka jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya 2 000
sampai dengan 3 000. Sekolah mewajibkan anak harus bayar uang SPP,
membayar uang pembangunan, uang semester, sekolah menuntut harus
membayar pakaian seragam sekolah, membayar pakaian batik. Sekolah
memungut biaya-biaya yang lain. Memang sekolah tempat perdagangan apa
bukan? Atau Sekolah adalah pasar. Tempat transaksi antara para pemangku
kepentingan pendidikan.
Sekolah
di papua hanya dipahami sebagai bangunan, runag kelas yang megah, kursi
yang bagus, diding sekolah yang megah dan halaman sekolah yang luas.
Pohon-pohon yang rindang.Kebanyakan masyarakat papua menterjemahkan
sekolah hanya sebatas bangunan fisik. Jika seorang guru meamndang
demikain, maka stop menjadi guru. Sedangkan guru di pedalaman papua,
masyarakat sangat menghargai gelar yang namanya guru. Malah warga
setempat menghucapkan kata “selmat pagi pag guru” selamat siang, selamat
sore, dan selamat malam pak guru”. Ini ucapan yang diucapkan oleh
masyarakat setempat, karena mereka percaya bahwa memang dia adalah
seorang guru yang benar benar guru bagi dirinya, guru bagi anak
mereka dan guru bagi masyarakat setempat. Namun yang sering terjadi
berbgai kasus di papua terutama pedalamn papua adalah seperti hal-hal
yang seperti diutarakan di atas. Selain itu bebrapa kasus yang terjadi
bahwa sering terjadi pagar makan tanaman, banyak kasus seorang siswi
hamil karena dihamili oleh bebrapa guru. Sekolah di papua memang penjara
yang paling kejam di bumi ini. Banyak kasus-kasus yang terjadi terutama
sekolah sekolah di papua, baik itu, kasus penganiayaan guru terhadap
siswa, kasus pelecehan seksual, kasus penindasan dalam mata pelajaran.
Sekolah-sekolah
di papua mengajarkan kepada siswanya dengan mengtakan bahwa “Indonesia
ibukota Jakarta, mengajarkan presiden pertama Negara Indonesia adalah
Sukarno, bahasa nasional bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Selain itu para guru membuat kalimat “ Ini Ibu Budi, Ini Ayah Budi, Ayah
pergi ke sawa, Cndi Brobudur berada di Jawa Tengah, presiden RI ke 2
adalah Suharto dan berbagai bentuk jawa sentrisme lainnya. Sekolah di
papua mengajarkan dengan metode jawa sentries. Guru guru di papua
mengajarkan dengan metode kurikulum 1994. Para guru mendoktrin siswa
harus menghapal presiden Indonesia dari pertama sampai sekarang. Guru
guru mengajarkan kepada siswanya bahwa “siswa harus menghapal perklaian 1
sampai 10, harus menghafal huf abjad dari A- Z. Guru tidak mengajarkan
dasar pembentukan huruf, guru tidak menajarkan apa maksud dari 1 + 1=2,
apa maksud dari Ayah Pergi ke sawah, Apa Mkasud dari NKRI, siapa itu
presiden sukarno, pandangan politiknya seperti apa dan tidak menjarkan
bentuk bentuk lainnya.
Sekolah Sekolah di Papua adalah Barak Militer. Pada hal sejatihnya menurut Summerhill dalam bukunya Moh Yamin, “Sekolah yang membebaskan”,
sekolah adalah membebaskan setiap anak untuk belajar atau mangkir,
bebas bermain selama berhari-hari atau berminggu-minggu, atau bertahun
–tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama, atau moral atau
politik. Summerhill telah membuktikan kepada dunia bahwa sekolah dapat
menghilangkan ketakutan siswa terhadap guru, yang lebih penting lagi,
ketakutan terhadap hidup. Lain teori lain perakterk. Itulah yang terjadi
di papua dari masa ke masa. Sekolah momok bagi siswa. Siswa dihalangi
dengan tembok pagar besi, kawat duri yang mengilingi sekolah, sekolah
duri bagi siswa, sekolah seibarat gunung yang menghalangi setiap anak
yang ingin bermain di sekolah. Satpam sekolah melarang siswa bermain di
halaman sekolah, sekolah hanya istana bagi kepala sekolah, guru,
Stokholder pendidikan. Dalam ruangan kelas dikuasai oleh guru, dalam
kelas guru adalah komandan battalion. Semua harus mendengarkan guru.
Aturan belajar dikelas dibuat oleh guru, tanpa melibatkan siswa. Siswa
patuh pada guru, karena guru adalah yang tau segala-galanya. Terlambat
masuk kelas 1 enit pushap dengan gaya militer 1×50. Terlambat 2 menit 2
x50 dan seterusnya. Didalam kelas adalah penjara. Semua aturan main
ditentukan oleh guru, tatatertip temple pada dinding kelas. Berbagai
aturan yang dibuat oleh sekolah temple di setiap kelas. Siswa hanya
menatuhi aturan tersebut.
Kepela
sekolah di papua adalah raja. Ketika kepala sekolah berjalan jalan di
halaman sekolah semua siswa yang berada disekitarnya harus tunduk kepada
kepala sekolah. Ketika mau membuang air kecil dan maupun besar siswa
yang ada di kamar mandi harus tunduk kepadanya. Mau bertemu dengan
kepala sekolah harus melalui prosedur. Memang kepala sekolah adala raja
bagi siswa. Jika siswa tidak mematuhi atauran sekolah, maka sekolah
mengeluarkan siswa tersebut dari sekoah, tanpa mempetimbangkan
pertimbangan-pertimbangan yang perlu dipertimbangkan. Sekolah mendidik
manusi-manusia robot, menciptakan manusi robot, sehingga bangsa ini
dipenuhi dengan manusia robot. Sekolah sudah menjadi neraka yang penuh
dengan api yang siap mematikan anak didik dalam melakukan proses belajar
mengajar. Sekolah sudah menggeruskan kehidupan anak didik yang
seharusnya menjadi bebas, steril dari desakan-desakan yang berpotensi
menghancam kemerdekaan peserta didik dalam belajar. Dengan demikian
sekolah dianalogikan sebagai tempat untuk membunuh segala bentuk
kebebasan dan kemerdekaan hidup peserta didik dalam mengaktualisasikan
segala bakat serta potensinya, sehingga dengan kondisi demikian disnilah
sebuah ketidakjelasan sekolah dalam membangun anak bangsa.
Sekolah
sekolah di Papua memiskinkan kreatifitas anak papua. Sekolah memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak didik unutk mengekpresikan
bakatnya dan mengembangkan minatnya demi menumbuhkembangkan minat dan
bakat tersebut. Namun lain halnya, Ruang gerak siswa dibatasi, mematikan
kreatifitas anak didik, sehingga memiskinkan kreatifitas. Di sekolah
adalah tempat unutk memulai kreatifitas, sekolah mefasilitasi untuk
kembangkan kreatifitsnya. Sekolah adalah penjara untuk mematikan
kreatifitas siswa. Sekolah di papua hanya memberikan kebebasan kepada
anak didik yang herbakat alah raga terutama sepak bola. Sehingga mereka
yang bakat di bidang itu berkembang. Sekolah hanya menyediakan fasilitas
olah raga sedangkan fasilitas lainnya diabaikan. Pengembangan siswa
yang terpenting diabaikan, sedangkan yang kurang terpenting seperti
sepak bola diutamankn. Dengan demikain sekolah di papua menciptakan
manusia bermental sepak bola. Manusia papua bermental sepak bola, karena
kulup-kulup di bangsa Indonesia ini ada pemain papua, dan diketahui
bahwa dialah (pemain papua) baik diantara pemain local Indonesia
lainnya. Pasilitas sepak bola di sekolah pun masih kurang, ditambah
dengan pendidikan sepak bolah yang tidak memadai, sehingga menciptakan
pesepak bola yang bermental keupuk.
Guru
di papua tidak ingin mengajarkan cara memulai kreatifitas anak didik.
Sengaja dibiarkan anak didik merabah-rabah, dari mana saya harus mulai,
kemana saya harus pergi. Setidaknya guru sebagai pendamping musti harus
memberikan teladan yang sepantasnya agar selanjutnya sisiwa
mengembangkan sendiri. Sementara itu Clegg dan Birch mengatakan, dalam
dunia pendidikan, kreatifitas tidak disukai karena melawan hasil yang
diinginkan pendidik. System pendidikan menginginkan siswa harus lulus
dari semua ketetapan yang ditepkan oleh pemerintah, dengan demikian
setiap guru harus berpatokan pada system tersebut sehingga mau tidak mau
harus mata pelajaran yang diajarkan lulus. Ruang gerak kreatifitas anak
didik dimatikan. Terutama mematikan ruang gerak anak didik yang
berpotensi menjadi penuis, fiskawan, menguasai sains dan bidang-bidang
eksata lainnya.
Sekolah-sekolah
di papua masi menerapkan Pendidikan Banking. Anak –anak papua adalah
Bank sehingga para guru menyetor dana ke bank tersebut. Guru guru yang
aktif dalam kelas, mereka yang tau, sedangkan siswa belum tau apa-apa.
Model pendidikan ini dikitisi oleh Freire, namun di papua masih berlaku
sampai sekarang.Guru mengajar, Murit diajar, guru-guru yang
menjar di papua masi terjadi sampai sekarang. Baik itu guru yang lulus
dari luar papua masi pakai model mengajar ini. Guru -guru AMBER sama
saja, baik guru yang berasal dari Jawa, Madura, Makasar, Batak, Medan
yang mengajar di papua sama semua. Mereka kerapkali menajar pakai metode
guru mengajar, siswa diajar. Memang tugas seorang guru adalah mengajar,
tetapi kondisi saat ini guru tidak perluh interfensi dalam kelas bahwa
saya harus menjar sedangkan anak didik harus diajar karena saya yang tau
segalanya. Pandangan ini sangat konyol, namun masih saja terjadi di
papua.
Guru
lebih menguasai, murid Belum tahu, pandangan bahwa guru adalah lebih
tau dari segal-galanya di kelas termasuk sisiwa. Pandangan ini pun masih
terjadi di papua, pandangan siswa disalahkan, runag gerak siswa
dibatasi karena dianggap tidak tau, hanya saya seorang guru saja tau.
Semstinya pandangan siswa pun diapresiasi oleh guru, namun lain halnya
di papua. Guru memang menjajah anak-anak papua yang hendak melanhkah ke
dunia luas. Guru bercetia, murid mendengarkan, guru membuat peraturan,
murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurutinya,
guru bertindak, murid membanyangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
tindakan gurunya, guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan
diri, guru adalah subjek prses belajar, siswa objeknya. Hal ini
merupakan fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah yang berada di papua.
Proses pendidikan semacam ini masi berkembang sampai saat ini.
Menciptakan manusia papua yang bermental robot, bermental konsumtif,
bermental pengamen. Kondisi ini direfleksikan oleh para pemangku
kepentingan pendidikan. Sekolah di papua mengarakan ke arah mana, dari
mana harus memulai, kemana harus pergi?.
Refrensi:
Asep Sapa’at, “ Stop Menjadi Guru”
Moh.Yamin “Sekolah yang membebaskan”
Muhaimin Azzet, Pendidikan Yang membebaskan”
0 comments:
Post a Comment