Tuesday 12 March 2013

Sekolah Memenjara (Kan) Anak Indonesia- Papuani


Di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpah orang orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak di paksa membeli dan membaca buku-buku karangan sipir atau kepala penjara.Dalam komentarnya Bernard Show pada Parenst and Childernd.
Sekolah memang penjara yang paling memberatkan pikiran, tenaga fisik dari pada penjara biasa. Penjara dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah tempat mengurung orang hukuman. Orang yang bersalah dimasukan ke dalam kurungan. Sedangkan sekolah orang yang tidak bersalah pun dipenjarakan. Anak yang ingin belajar di sekolah, malah pihak sekolah memenjarakan anak tersebut. Belajar di luar sekolah lebih baik dari pada belajar di sekolah, namun guru dan orang tua memaksa anaknya belajar di sekolah. Belajar merupakan suatu hal yang sifatnya berusaha (mencari, mendapatkan, berlatih untuk mencoba) suapaya mendapatkan sesuatu kepandaian. Dengan memperoleh kepandaian, mampu merubah dirinya dari segala bentuk kebodohan. Belajar untuk tau dari tidak tau. Belajar untuk memahami dirinya, merubah drinya menjadi manusia yang seutuhnya. Memahami dan Menemukan dirinya sebagai Manusia yang seutuhnya, maka manusia tersebut memanusiakan manusia lain, bukan memenjarakan manusia lain. Lain halnya dengan sekolah di papua, sekolah hadir di papua untuk memenjakan manusia Papua.
Masuknya pendidikan (sekolah ) di papua, terutama sekolah formal membawa sebuah harapan yang ketidakpastian. Sekolah hadir di papua untuk hanya memberantaskan buta huruf. Sekolah hanya mengejar nilai uang, berapa yang sekolah dapat, jenis uang apa yang akan dapat, setiap tahun uang biaya operasional sekolah (BOS) semakin meningkat, sehingga berapa yang dapat uang dalam setiap tahun. Setiap tahun berapa sekolah yang dibangun? Seorang guru mendata siswa dengan data palsu 100 anak kampong. Guru tersebut membuat permohonan kepada dinas terkait untuk membangun gedung yang sangat megah. Pada hal kampong tersebut tidak mencapai 100 orang. Membuat data fiktif untuk membangun gedung. Biaya operasional naik, menambah gedung, tanpa dilengkapi dengan fasilitas. Menabah sekolah Internasional. Membuka sayap ke pelosok nusantara demi mengejar citra bangsa Indonesia di mata dunia. Mengejar target tanpa esensi dari pendidikan merupakan pekerjaan yang sia-sia. Bangsa ini tambah melarat.
Sekolah mewajibkan membeli buku, sekolah mewajibkan membeli modul mata pelajaran. Modul tersebut berkisar 20 sampai 30 halaman, namun dibayar 70 000 sampai 100 000. Logisnya jika Anda fotokopi satu lembar kertas seharga 100 rupiah, maka jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya 2 000 sampai dengan 3 000. Sekolah mewajibkan anak harus bayar uang SPP, membayar uang pembangunan, uang semester, sekolah menuntut harus membayar pakaian seragam sekolah, membayar pakaian batik. Sekolah memungut biaya-biaya yang lain. Memang sekolah tempat perdagangan apa bukan? Atau Sekolah adalah pasar. Tempat transaksi antara para pemangku kepentingan pendidikan.
Sekolah di papua hanya dipahami sebagai bangunan, runag kelas yang megah, kursi yang bagus, diding sekolah yang megah dan halaman sekolah yang luas. Pohon-pohon yang rindang.Kebanyakan masyarakat papua menterjemahkan sekolah hanya sebatas bangunan fisik. Jika seorang guru meamndang demikain, maka stop menjadi guru. Sedangkan guru di pedalaman papua, masyarakat sangat menghargai gelar yang namanya guru. Malah warga setempat menghucapkan kata “selmat pagi pag guru” selamat siang, selamat sore, dan selamat malam pak guru”. Ini ucapan yang diucapkan oleh masyarakat setempat, karena mereka percaya bahwa memang dia adalah seorang guru yang benar benar guru bagi dirinya, guru bagi anak mereka dan guru bagi masyarakat setempat. Namun yang sering terjadi berbgai kasus di papua terutama pedalamn papua adalah seperti hal-hal yang seperti diutarakan di atas. Selain itu bebrapa kasus yang terjadi bahwa sering terjadi pagar makan tanaman, banyak kasus seorang siswi hamil karena dihamili oleh bebrapa guru. Sekolah di papua memang penjara yang paling kejam di bumi ini. Banyak kasus-kasus yang terjadi terutama sekolah sekolah di papua, baik itu, kasus penganiayaan guru terhadap siswa, kasus pelecehan seksual, kasus penindasan dalam mata pelajaran.
Sekolah-sekolah di papua mengajarkan kepada siswanya dengan mengtakan bahwa “Indonesia ibukota Jakarta, mengajarkan presiden pertama Negara Indonesia adalah Sukarno, bahasa nasional bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Selain itu para guru membuat kalimat “ Ini Ibu Budi, Ini Ayah Budi, Ayah pergi ke sawa, Cndi Brobudur berada di Jawa Tengah, presiden RI ke 2 adalah Suharto dan berbagai bentuk jawa sentrisme lainnya. Sekolah di papua mengajarkan dengan metode jawa sentries. Guru guru di papua mengajarkan dengan metode kurikulum 1994. Para guru mendoktrin siswa harus menghapal presiden Indonesia dari pertama sampai sekarang. Guru guru mengajarkan kepada siswanya bahwa “siswa harus menghapal perklaian 1 sampai 10, harus menghafal huf abjad dari A- Z. Guru tidak mengajarkan dasar pembentukan huruf, guru tidak menajarkan apa maksud dari 1 + 1=2, apa maksud dari Ayah Pergi ke sawah, Apa Mkasud dari NKRI, siapa itu presiden sukarno, pandangan politiknya seperti apa dan tidak menjarkan bentuk bentuk lainnya.
Sekolah Sekolah di Papua adalah Barak Militer. Pada hal sejatihnya menurut Summerhill dalam bukunya Moh Yamin, Sekolah yang membebaskan”, sekolah adalah membebaskan setiap anak untuk belajar atau mangkir, bebas bermain selama berhari-hari atau berminggu-minggu, atau bertahun –tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama, atau moral atau politik. Summerhill telah membuktikan kepada dunia bahwa sekolah dapat menghilangkan ketakutan siswa terhadap guru, yang lebih penting lagi, ketakutan terhadap hidup. Lain teori lain perakterk. Itulah yang terjadi di papua dari masa ke masa. Sekolah momok bagi siswa. Siswa dihalangi dengan tembok pagar besi, kawat duri yang mengilingi sekolah, sekolah duri bagi siswa, sekolah seibarat gunung yang menghalangi setiap anak yang ingin bermain di sekolah. Satpam sekolah melarang siswa bermain di halaman sekolah, sekolah hanya istana bagi kepala sekolah, guru, Stokholder pendidikan. Dalam ruangan kelas dikuasai oleh guru, dalam kelas guru adalah komandan battalion. Semua harus mendengarkan guru. Aturan belajar dikelas dibuat oleh guru, tanpa melibatkan siswa. Siswa patuh pada guru, karena guru adalah yang tau segala-galanya. Terlambat masuk kelas 1 enit pushap dengan gaya militer 1×50. Terlambat 2 menit 2 x50 dan seterusnya. Didalam kelas adalah penjara. Semua aturan main ditentukan oleh guru, tatatertip temple pada dinding kelas. Berbagai aturan yang dibuat oleh sekolah temple di setiap kelas. Siswa hanya menatuhi aturan tersebut.
Kepela sekolah di papua adalah raja. Ketika kepala sekolah berjalan jalan di halaman sekolah semua siswa yang berada disekitarnya harus tunduk kepada kepala sekolah. Ketika mau membuang air kecil dan maupun besar siswa yang ada di kamar mandi harus tunduk kepadanya. Mau bertemu dengan kepala sekolah harus melalui prosedur. Memang kepala sekolah adala raja bagi siswa. Jika siswa tidak mematuhi atauran sekolah, maka sekolah mengeluarkan siswa tersebut dari sekoah, tanpa mempetimbangkan pertimbangan-pertimbangan yang perlu dipertimbangkan. Sekolah mendidik manusi-manusia robot, menciptakan manusi robot, sehingga bangsa ini dipenuhi dengan manusia robot. Sekolah sudah menjadi neraka yang penuh dengan api yang siap mematikan anak didik dalam melakukan proses belajar mengajar. Sekolah sudah menggeruskan kehidupan anak didik yang seharusnya menjadi bebas, steril dari desakan-desakan yang berpotensi menghancam kemerdekaan peserta didik dalam belajar. Dengan demikian sekolah dianalogikan sebagai tempat untuk membunuh segala bentuk kebebasan dan kemerdekaan hidup peserta didik dalam mengaktualisasikan segala bakat serta potensinya, sehingga dengan kondisi demikian disnilah sebuah ketidakjelasan sekolah dalam membangun anak bangsa.
Sekolah sekolah di Papua memiskinkan kreatifitas anak papua. Sekolah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak didik unutk mengekpresikan bakatnya dan mengembangkan minatnya demi menumbuhkembangkan minat dan bakat tersebut. Namun lain halnya, Ruang gerak siswa dibatasi, mematikan kreatifitas anak didik, sehingga memiskinkan kreatifitas. Di sekolah adalah tempat unutk memulai kreatifitas, sekolah mefasilitasi untuk kembangkan kreatifitsnya. Sekolah adalah penjara untuk mematikan kreatifitas siswa. Sekolah di papua hanya memberikan kebebasan kepada anak didik yang herbakat alah raga terutama sepak bola. Sehingga mereka yang bakat di bidang itu berkembang. Sekolah hanya menyediakan fasilitas olah raga sedangkan fasilitas lainnya diabaikan. Pengembangan siswa yang terpenting diabaikan, sedangkan yang kurang terpenting seperti sepak bola diutamankn. Dengan demikain sekolah di papua menciptakan manusia bermental sepak bola. Manusia papua bermental sepak bola, karena kulup-kulup di bangsa Indonesia ini ada pemain papua, dan diketahui bahwa dialah (pemain papua) baik diantara pemain local Indonesia lainnya. Pasilitas sepak bola di sekolah pun masih kurang, ditambah dengan pendidikan sepak bolah yang tidak memadai, sehingga menciptakan pesepak bola yang bermental keupuk.
Guru di papua tidak ingin mengajarkan cara memulai kreatifitas anak didik. Sengaja dibiarkan anak didik merabah-rabah, dari mana saya harus mulai, kemana saya harus pergi. Setidaknya guru sebagai pendamping musti harus memberikan teladan yang sepantasnya agar selanjutnya sisiwa mengembangkan sendiri. Sementara itu Clegg dan Birch mengatakan, dalam dunia pendidikan, kreatifitas tidak disukai karena melawan hasil yang diinginkan pendidik. System pendidikan menginginkan siswa harus lulus dari semua ketetapan yang ditepkan oleh pemerintah, dengan demikian setiap guru harus berpatokan pada system tersebut sehingga mau tidak mau harus mata pelajaran yang diajarkan lulus. Ruang gerak kreatifitas anak didik dimatikan. Terutama mematikan ruang gerak anak didik yang berpotensi menjadi penuis, fiskawan, menguasai sains dan bidang-bidang eksata lainnya.
Sekolah-sekolah di papua masi menerapkan Pendidikan Banking. Anak –anak papua adalah Bank sehingga para guru menyetor dana ke bank tersebut. Guru guru yang aktif dalam kelas, mereka yang tau, sedangkan siswa belum tau apa-apa. Model pendidikan ini dikitisi oleh Freire, namun di papua masih berlaku sampai sekarang.Guru mengajar, Murit diajar, guru-guru yang menjar di papua masi terjadi sampai sekarang. Baik itu guru yang lulus dari luar papua masi pakai model mengajar ini. Guru -guru AMBER sama saja, baik guru yang berasal dari Jawa, Madura, Makasar, Batak, Medan yang mengajar di papua sama semua. Mereka kerapkali menajar pakai metode guru mengajar, siswa diajar. Memang tugas seorang guru adalah mengajar, tetapi kondisi saat ini guru tidak perluh interfensi dalam kelas bahwa saya harus menjar sedangkan anak didik harus diajar karena saya yang tau segalanya. Pandangan ini sangat konyol, namun masih saja terjadi di papua.
Guru lebih menguasai, murid Belum tahu, pandangan bahwa guru adalah lebih tau dari segal-galanya di kelas termasuk sisiwa. Pandangan ini pun masih terjadi di papua, pandangan siswa disalahkan, runag gerak siswa dibatasi karena dianggap tidak tau, hanya saya seorang guru saja tau. Semstinya pandangan siswa pun diapresiasi oleh guru, namun lain halnya di papua. Guru memang menjajah anak-anak papua yang hendak melanhkah ke dunia luas. Guru bercetia, murid mendengarkan, guru membuat peraturan, murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurutinya, guru bertindak, murid membanyangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri, guru adalah subjek prses belajar, siswa objeknya. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah yang berada di papua. Proses pendidikan semacam ini masi berkembang sampai saat ini. Menciptakan manusia papua yang bermental robot, bermental konsumtif, bermental pengamen. Kondisi ini direfleksikan oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Sekolah di papua mengarakan ke arah mana, dari mana harus memulai, kemana harus pergi?.
Refrensi:
Asep Sapa’at, “ Stop Menjadi Guru”
Moh.Yamin “Sekolah yang membebaskan”
Muhaimin Azzet, Pendidikan Yang membebaskan”

0 comments:

Post a Comment